Jumat, 07 Mei 2010

Ini Saya (PART I)

Ketika mengetik tulisan ini di laptop, aku sembari mendengarkan instrument piano Bella’s Lullaby, soundtrack film Twilight. Kayanya, lagu ini mendukung feel aku saat nulis. Jadi aku stel supaya perasaan hati juga sealiran sama yang mau aku tulis ini. (disarankan ketika membaca tulisan aku ini juga sambil dengerin lagunya)

Gatau kenapa tadi pas tidur-tiduran di sofa, aku kepikiran buat nulis tentang ini. Tulisan ini bukan ceramahan, bukan kisah, bukan himbauan, atau yaaa something like that yang menurut kalian itu bikin boring. Ini sharing dari aku, mudah-mudahan ga bikin boring yaa:) Ini nyata terjadi di hidup aku. Akupun mikir berkali-kali untuk sharing hal ini ke jejaring social, Karena bisa dibilang ini cerita aku yang mungkin ga patut buat di share ke banyak orang. Tapi gatau kenapa, aku merasa sharing aku ini bisa membuka mata beberapa orang (yaaa yang mungkin memang suka dan minat baca tulisan aku, kalo emang engga, silahkan berhenti aja sampe sini. Karena aku jamin jika dilanjutin, yang ada malah aku yang dikata-katain,aku yang dicemooh, sooo thanks dan selamat membaca…)

Saat ini aku baru berusia 15 tahun. Ini serius. Banyak banget yang ga percaya usia aku segitu. Itulah kenyataannya. Aku sadar, aku emang lebih dewasa dari yang lain karena menurut aku, ini faktor kehidupan. Dari kecil, aku udah biasa hidup dalam kesendirian. Bukan berarti aku tinggal di pinggir jalan dan gapunya keluarga loh. Hehehe. Keluargaku saat aku kecil lengkap. Bisa dibilang, aku ini memiliki keluarga besar. Kesendirian disini maksudnya adalah perasaanku. Aku merasa diriku hampa, sepi, sendiri. Waktu aku kelas 2 SD, papi dan mami cerai. Aku bener-bener down. Down setengah mati. Dua tahun lamanya aku ngerasain hidup dalam penderitaan. Yaiyalha menderita. Saat perceraian itu, aku dan kedua adikku tinggal sama mami. Aku gaboleh ada hubungan via apapun sama keluarga papi. Sekali ketauan, adik-adikku yang bakal kena imbasnya. Jadi, aku ga ngelanggar semua aturan itu demi adik-adikku. Aku sayang mereka. Axel, dan satunya lagi perempuan, Arneta.
I LOVE YOU MY BROTHER, I LOVE YOU MY LIL’ SIS!
Axel and Arneta

Dari aku bayi, aku tinggal di rumah oma, mama dari papi. Oma yang urus aku, aku deket sama dia. Bahkan, katanya muka kita mirip. Aku ga mirip papi, aku ga mirip mami. Tapi aku mirip oma. Aku seneng banget kalo dibilang mirip oma. Kenapa? Dulu aku benci banget sama mami dan ppai aku sendiri. Mereka menjadikan aku dan adik-adikku korban karna perceraian mereka. Apa mereka gapunya hati? Pasti punya. Tapi sayangnya saat itu hati mereka ga berbicara. Hanya emosi yang mengeluarkan suara.

Tekanan batin pastinya ketika aku tinggal di rumah mami. Aku seperti di penjara. Aku kangen oma, aku kangen papi, kangen opa. :’( Tapi aku harus bagaimana? Aku gabisa berbuat apa-apa. Apa yang bisa dilakukan anak 2 SD atas masalah ini? Ga ada. Tapi waktu itu, aku punya ide. Aku baru ingat, kalau teman sekelasku, Audy, rumahnya tidak jauh dari rumah oma. Jadi, aku selalu menitip surat untuk oma kepada Audy. Audypun bersedia mengantarkan suratku ke oma. Senangnya! Apalagi ketika oma membalasnya! :’) Bayangkan, untuk berkomunikasi dengan oma yang telah mengurusku dari aku kecil saja harus melalui orang lain. Tapi bagaimanapun, aku senang. Karena oma telah mau menjalankan komunikasi itu walau harus malu dengan keluarga Audy. Selama hampir 2 tahun pula aku berkomunikasi dengan keluarga Papiku lewat surat. Menyedihkan. Akupun menangis ketika mengetik cerita ini di laptop. Komunikasi dengan cara inipun berhenti setelah mamiku tahu. Aku diperlakukan tidak baik olehnya. Dan aku malah semakin dipenjarakan. Aku hanya bisa menangis di kamar, doa dan menjerit pada Tuhan. Tak ada yang bisa mendengar aku. Bahkan akupun tidak tahu harus berbicara kepada siapa. Apa dosaku Tuhan? Kenapa harus aku?

Di tahun kedua aku tinggal dengan mami, aku sakit parah. Aku dibawa mami ke rumah sakit. Dalam keadaan sakit tersebut, aku berusaha berlari kabur darinya. Mukaku pucat. Antara pucat karena sakit, atau pucat karena takut mami bisa menemukanku, aku tak tau. Aku berhasil lari darinya. Akupun merogoh uang logam 500 dari kantong celanaku. Ya, uang itu aku dapatkan dari hasil mencuri dari dalam tas mamiku. Aku langsung mencari telepon umum, dan kumasukan uang logam itu. Aku menelepon papi dan akhirnya diangkat! Puji Tuhan. Aku langsung katakan dimana posisi aku berada, aku bilang aku kangen padanya dan aku ingin papi menjemputku, SEKARANG JUGA DI RUMAH SAKIT. Kira-kira, 10 menit kemudian aku dijemput papi naik motor. Aku langsung dibawa ke rumah oma. Sesampainya disana, aku menangis. Aku memeluk papi, aku memeluk oma. Itu adalah bukti bahwa aku sangat rindu mereka, aku sayang sama mereka.

Kalau tidak salah, 2 hari aku tidur di rumah oma. Mami terus menelepon papi, tapi tidak dihiraukan oleh papi. Papi tahu, mami pasti ingin mengambilku lagi. Mungkin mami kesal. Dia langsung dating ke rumah oma. Dia menarik-narikku keluar rumah. Aku tidak mau. Yang aku ingat, jariku biru karna terjepit pintu gerbang. Mamiku terus saja menarikku hingga aku menyerah. Aku masuk ke mobil. Dan ketika mobil berjalan, aku hanya bisa menangis. Aku menangis sambil menatap ke jendela belakang. Ada oma dan papi yang juga ikut menangis. Mereka juga tak bisa berbuat apa-apa. Aku tahu mereka tidak melawan karena mereka takut jika aku dan adik-adik yang akan jadi korbannya lagi.

Tak terasa, aku sudah kelas 4 SD. Saatnya dimana aku menerima komuni pertama, karena aku seorang katolik. Tentu ini adalah moment yang membahagiakan teman-temanku, tapi tidak untukku. Ya, mereka komuni pertama dengan kedua orangtua yang hadir di kiri dan kanan mereka. Aku? Aku hanya mami. Tapi itu belum pasti. Aku bisa saja mengajak papi. Karena hari penerimaan komuni pertama masih beberapa minggu lagi. Yang jadi masalah adalah, apakah mami memperbolehkan aku untuk mengajak papi? Akupun memberanikan diri untuk bertanya kepada mami. Dan jawabannya adalah, BOLEH! Terimakasih ya Tuhan, Kau mengabulkan doaku. Aku ingat sekali, aku menerima komuni pertama pada tanggal 25 November. Ketika penerimaan komuni yang diadakan di Gereja Katedral Jakarta, Papi berdiri gagah di samping kananku, dan mamiku yang cantik berdiri di samping kiriku. Rasanya aku ingin menangis. Aku sangat bahagia. Aku serasa jadi anak paling bahagia saat itu. Padahal, mami papi sudah pisah, bahkan tidak mengeluarkan sepatah kata apapun ketika penerimaan komuni tersebut. Ah, itu tidak jadi masalah. Yang penting, mereka berdua ada disisiku saat moment penting ini. Thanks God, Thanks God, Thanks God!

Di akhir kelas 4, akhirnya aku tinggal dengan papi. Aku tinggal bersama keluarga papi, pastinya bersama oma yang paling aku sayang. Aku lupa bagaimana caranya aku bisa tinggal dengan papi, yang pasti aku dan adik-adikku sangat amat senang. Di kelas 4, banyak perubahan yang terjadi pada diriku. Aku semakin mudah bergaul, aku aktif di gereja, aku mulai suka menulis, aku punya cita-cita jadi seorang psycholog, dan yang paling mengesankan adalah, aku memiliki talenta bernyanyi. Sejak kecil, aku sudah manggung kesana-kemari. Tentunya, hal ini menjadi kebanggan tersendiri bagiku dan keluargaku. Aku bisa menghasilkan uang sendiri, aku bisa membahagiakan mereka. Tapi di samping itu, aku harus menerima kenyataan pula bahwa aku sakit. Aku punya penyakit, dan sering sekali aku merasakan sakitnya.


CERITA INI AKAN DILANJUTKAN DI "INI SAYA (PART II)".. TUNGGU YA!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar